Pengaruh Kebijakan Kolonial Terhadap Terbentuknya Kesadaran Nasional Indonesia
Pelaksanaan politik etis di Indonesia yang
dilatorbelakangi oleh munculnya kaum humanisme pada dasarnya merupakan program
balas budi dari pihak Belanda atas pengorbanan bangsa Indonesia yang telah
dirampas kekayaannya oleh Belanda. Dengan adanya politik etis, rakyat Indonesia
mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Program tersebut telah
melahirkan benih-benih kaum terpelajar yang kelak akan memelopori pergerakan
kebangsaan Indonesia. Dari sinilah muncul kesadaran rakyat Indonesia, bahwa
untuk mengusir penjajahan, mereka harus menggalang persatuan dan kesatuan
bangsa.
Penderitaan
Rakyat Indonesia akibat berbagai kebijakan yang diterapkan dalam sistem
kolonialisme yang berupa monopoli perdagangan, tanam paksa, dan kerja paksa
sudah tidak dapat ditolelir lagi.
Sumber kekayaan alam Indonesia terus
dieksploitasi untuk mengisi kas keuangan Belanda. Rakyat Indonesia depekerjakan
tanpa upah atau diperlakukan secara tidak layak. Kenyataan tersebut sungguh
ironis, rakyat Indonesia yang bekerja keras, sedangkan Belanda yang
menikmatinya.
Penderiaan yang dialami bangsa
Indonesia telah menimbulkan reaksi, baik dari pihak bangsa Indonesia sendiri
maupun dari pihak Belanda, terutama orang orang Belanda yang menaruh simpati
terhadap penderitaan bangsa Indonesia, yaitu yang disebut dengan golongan liberalis dan humanis. Mereka menentang sistem tanam paksa yang berlaku pada saat itu. Sistem tanam paksa
merupakan sistem yang menindas, mengeksploitasi dan memperlakukan rakyat
Indonesia secara tidak adil.
Salah stu tokoh yang memperjuangkan
agar sistem tanam paksa dihapuskan adalah Baron van Hoevel. Ia adalah seorang
anggota perlemen Belanda. Pada tahun 1848, kamu liberal berhasil mendapat suara
mayoritas dalam parlemen, mendesak agar dibentuk undang undang baru. Dengan
undang undang tersebut, parlemen berhak mengendalikan semua kegiatan
pemerintahan di Negara jajahan, termasuk terhadap pelaksanaan sistem tanam
paksa di Indonesia.
Selain melalui parlemen, perlawanan
menentang sistem tanam paksa juga dilakukan melalui tulisan tulisan berupa buku
dan pamphlet, yang menceritakan penderitaan rakyat Indonesia akibat diterapkannya
sistem tanam paksa, seperti Edward Douwes Dekker (Multatuli) yang menuliskan buku dengan judul Max Havelaar. Dalam bukunya, ia menceritakan penderitaan bangsa
Indonesia. Akibatnya, timbul semangat anti pemerintahan Belanda dalam hati
rakyat Indonesia.
Akhirnya, sistem tanam paksa mulai
dihapuskan. Kepala dan pegawai pemerintahan tidak diizinkan untuk menerima
kondisi dari hasil hasil yang ditetapkan. Mereka melakukan pengontrolan dan
supervisi. Kerja paksa yang dilakukan di tengah tengah hutan rimba dihapuskan.
Tanaman wajib yang harus diserahkan oleh bangsa Indonesia kepada pemerintah
dibatasi. Selain itu, para pekerja dan pemberi jasa harus mendapatkan upah.
Setelah sistem tanam paksa
dihapuskan, Belanda menggantikannya dengan sistem
ekonomi liberal yang mulai dilaknsanakan tahun 1870. Melalui sistem ekonomi
liberal ini, diharapkan rakyat Indonesia dapat meningkatkan kesejahteraannya.
Namun dalam pelaksanaannya, sistem ekonomi liberal pun dimanfaatkan oleh
pengusaha asing, termasuk Belanda, untuk penanaman modal. Sistem tersebut
ternyata mengalami kegagaln dalam mencapai tujuannya, yakni untuk
mensejahterakan rakyat, karena tersebut hanya menguntungkan para pemodal Eropa,
sedangkan rakyat Indonesia tetap dieksploitasi dan berada dalam kesengsaraan.
Kaum liberal yang pernah memprotes
dan menentang sistem tanam paksa kembali menyuarakan bukan aspirasi mereka.
Merekan menuntut agar perbaikan kehidupan rakyat Indonesia semata mata untuk
kepentingan rakyat Indonesia, bukan sekedar dalih belaka.
Pada tahun 1880, Dr. Abraham Kupyer
dalam majalah De Gids, menerbitkan Ons Program, yang menuntut pemerintah
Belanda agar bertanggung jawab dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat
Indonesia. Selain itu, muncul juga Conrad Theodore van Deventer dengan
tulisannya Debt of Honour (Hutang
Kehormatan). Ia menuntut agar pemerintah Belanda membayar semua keuntungan dan
kemakmuran yang diperolehnya dari rakyat Indonesia. Melalui gerakan gerakan
tersebut, Politik etis (Politik balas budi) mulai diterapkan di Indonesia.
Politik etis difokuskan dalam 3
bidang utama, yaitu pendidikan (edukasi),
pengairan (irigasi), dan kependudukan
(migarasi). Namun, dari tiga focus
tujuan pelaksnaan politik etis tersebut, para pelopor politik etis lebih
menitikberatkan pada bidang pendidikan. Untuk itu, pemerintah Hindia Belanda
mulai mengupayakan kemajuan rakyat Indonesia melalui pendidikan. Namun,
kesempatan mengenyam pendidikan tersebutditujukan terutama bagi anak anakn
pejabat, pegawai dalam perusahaan Belanda, pegawai pemerintah Belanda, dan anak
anak bupati dan bangsawan yang mempunyai pikiran lebih maju.
Pada tahun 1900, pemerintah Hindia
Belanda mulai menata kembali sistem pendidikan yang sudah ada. Merekan
mendrikan sekolah sekolah yang bertujuan untuk melahirkan para birokrat (tenaga
pemerintah) yang dapat bekerja pada pemerintahan Belanda. Sekolah tersebut
disebut Hootden School (Sekolah
Pangreh Praja),yang kemudian diubah menjadi OSVIA
(Opleiding School Voor Inlandische Amntenaren). Sekolah lainnya adalah STOVIA (School Tot Opleiding Voor
Inlandische Arsten). Sekolah ini, diperuntukan bagi rakyat Indonesia yang
ingin menjadi dokter. Selain itu, ada juga aekolah yang melahirkan para guru,
yaitu Kweek School. Pada tahun 1892-1893 mulai didirikan
sekolah sekolah tingakat dasar seperti Certse
Klasse ( Sekolah Kelas Satu), yang kemudian diubah namanya pada tahun 1914
menjadi HIS (Holandsch Indische Scholen ).
Sekolah tersebut diperuntukan bagi anak priyayi pribumi, yang menggunakan
sistem pendidikan model eropa.Setelah lulus dari HIS, dapat diteruskan ke MULO(Meer Uitgebretd Layer Onderwijs) yang
didirikan pada tahun 1914. Dari MULO, merekan dapat melanjutkan ke AMS (Algemeene Middlebare School) yang
didirikan tahun 1919. Sekolah tingkat dasar lainnya adalah Tweede Klasse (Sekolah Kelas Dua) yang diperuntukan bagi rakyat
biasa dengan menggunakan bahasa pengatar daerah atau bahasa Melayu.
Pendidikan di HIS,MULO, dan AMS sangat dibatasi, yaitu hanya
dikhususkan bagi para priyayi. Oleh karena itu, yang dapat meneruskan ke
perguruan negeri Belanda pun sangat sedikit sekali, yaitu sekitar 36 orang.
Tetapi, sejak 1920, Belanda mulai memberikan kebebasan kepada semua rakyat
Indonesia untuk masuk ke sekolah mana saja dengan syarat memeliki biaya.
Pada tahun 1920, Belanda membangun
sekolah baru bernama Technische Hooge
School (Sekolah Tinggi Tehnik, sekarang ITB) di Bandung. Selanjutnya pada
tahun 1924, didirikan pula Rechts Kundige
Hooge School (Sekolah Tinggi Hakim) di Batavia. Sedangkan pada tahun1927,
STOVIA diubah menjadi Geenes Kundige Hoog
school (Sekolah tinggi kedokteran). Selain sekolah sekolah tersebut di
atas, ada juga sekolah kejuruan, seperti: tehnik, pertanian, peternakan, dan
sebagainya.
Politik etis yang diselenggarakan
oleh Belanda tidak semata mata untuk menyejahterakan dan mencerdaskan rakyat
Indonesia. Namun tujuan sebenarnya dari pendidikan yang mereka selenggarakan
adalah agar mereka mendapat tenaga kerja yang murah dan terampil, yang dapat mendukung
kekuasaanya di Indonesia.
Sesuatu terjadi di luar dugaan
Belanda. Pendidikan yang merka berikan untuk rakyat Indonesia ternyata secara
tidak langsung telah melahirkan golongan terpelajar yang merupakan pelopor
pergerakan nasional. Kaum pribumi yang dapat mengenyam pendidikan sampai ke
tingkat yang lebih tinggi sangat sedikit, namun mereka berhasil menumbuhkan
benih benih semangat nasionalisme. Kaum
pelajar tersebut berubah menjadi elite
nasional. Mereka memiliki pandangan yang mantap akan pentingny persatuan
Indonesia. Pandangan tersebut dapat mendobrak fanatisme kedaerahan, kesukuan,
keetnikan dan keterbelakangan bangsa Indonesia.
Faktor factor yang mendukung
terbentuknya persatuan dan kesatuan bangsa adalah sebagai berikut.
1.
Adanya kesadaran dari kaum terpelajar akan pentingnya persatuan demi mencapai
cita cita bersama, yakni merdeka atau bebas dari belenggu penjajahan.
2.
Agama Islam yang merupakan agama mayoritas rakyat Indonesia, mengajarkan bahwa Jihad Fisabilillah itu wajib
dilaksanakan, dengan semboyan hidup mulia atau mati syahid. Suatu kehormatan
bagi mereka, jika mereka terpangil untuk jihad. Cita cita itulah yang memperkuat
dan mempersatukan mereka dalam misi yang sama, yaitu berjuang untuk mengusir
penjajahan.
3.
Pendidikan yang mampu menguba cara pandang seseorang. Kemajuan berfikir
seseorang yang didapat dari proses pendidikan telah menimbulkan keyakinan
baahwa di hadapan Tuhan manusia memiliki harakat dan martabat yang sama. Oleh
karena itu, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.
4.
Perasaan senasib penduduk tanah jajahan di Asia merupakan semangat pendorong
untuk merealisasikan gagasan kemerdekaan. Dengan bercermin pada perjuangan
bangsa Asia lainnya yang dijadikan sebagai Negara jajahan dan melakukan
perlawanan seperti: perlawanan Filipina atas Spanyol, Perlawanan Turki, Cina,
dan India, membuat bangsa Indonesia sadar bahwa untuk dapat mengusir penjajahan
mereka harus bersatu. Selama ini yang membuat perlawanan rakyat Indonesia
selalu berakhir dengan kegagalan adalah karena mereka tidak bersatu. Para elit
nasional menjadi kelompok yang dapat menyampaikan ide idenya tentang persatuan
dan kesatuan.
5.
Adanya Volksraad (dewan rakyat) yang
dibentuk selama perlawanan politik etis. Melalui badan tersebut, kamu pelajar
dari seluruh Indonesia dipersatukan, sehingga timbul komunikasi dan kerjasama
di antara mereka dalam memikirkan cita cita nasional untuk meraih kemerdekaan
Indonesia.
6.
Adanya kaum professional, yaitu mereka yang mempunyai keahlian yang terbentuk
berkat pendidikan. Mereka berpendapat bahwa segala bentuk diskriminasi (membeda
bedakan antara pribumi dengan orang Belanda), pembagian kelas kelas, dan
sebagainya dapat menghambat terbentuknya persatuan untuk mengusir penjajahan.
Kelas kelas tersebut sengaja dibuat oleh Belanda uuntuk memecah belah agr
mereka menjadi golongan golongan kecil yang tidak berdaya. Namun, kaum
nasionalis mampu mendobrak segala bentuk diskriminasitersebut. Mereka
berpendapat bahwa untuk mengubah nasib bangsa Indonesia, diperlukan perjuangan
di berbagai bidang, baik bidang pendidikan, sosial-ekonomi, pers, maupun
politik. Perjuangan tidak dapatdilakukan sendirian, melainkan harus dilakukan
bersama sama dengan menciptakan persatuan dan kesatuan.
7.
Media netak digunakan untuk membentuk persamaan persepsi di antara rakyat
Indonesia. Selain itu, media masa juga diangga lebih efektif sebagai sarana
pergerakan dan menyampaikan gagasan dengan cepat, sehingga dalam waktu yang
singkat mampu menjangkau daerah yang luas dengan cakupan pembaca yang lebih
luas.
8.
Adanya kamu pelajar Indonesia yang mengenyam pendidikan di luar negeri. Mereka
terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu: kamu terpelajar ala-Barat (Belanda) dan
kamu terpelajar ala Timur (Mesir). Kaum terpelajar ala-Barat adalah kaum
intelek yang dinamis serta terbuka, toleran, dan liberal. Sedangkan, kaum
intelek ala-Timur, merupakan kelompok yang bersifat militant, antikolonial,
fanatia, dan mengadakan perlawanan frontal dengan mengggunakan senjata.
Kaum terpelajar yang sekolah di
Belanda ternyata tidak menyaksikan kenyataan bahwa kolonialisme Belanda juga
ditentang oleh para pelajar dari Belanda sendiri. Mereka menemukan ide ide
politik mengenai kebebasan sipil, pemerintahan demokrasi, pemikiran sosialis
yang anti kamilatis, yang dijadikan ideologi bagi perjuangan mereka dalam
melawan Belanda.
Sedangkan kaum terpelajar yang
sekolah di Mesir lebih memusatkan perhatiannya pada gerakan islam modern
sebagai kekuatan untuk mengusir kekafiran Belanda. Karena menurut keyakinan
yang mereka dapatkan, bahwa perjuangan mengusir Belanda bukan sekedar melawan
penjajahan, melainkan lebih kepada melawan kekafiran.
Dengan demikian, meskipun
kedua kelompok belajar yang berbeda dari sisi alam
dan melihat ke arah perjuangan melawan penjajah,
tetapi keduanya memiliki tujuan yang sama, yang menghamburkan
penjajah dari Belanda
dari bumi Indonesia. Untuk itu, mereka saling
mendukung dalam pertempuran melawan
Belanda.
0 komentar:
Posting Komentar